Rabu, 15 April 2015

Bukan Aku ...

Kau yang selama ini menari-nari dalam darahku menjadi buram dan kabur, tiba-tiba menjadi tak kumengerti. Apa arti senyummu, apa makna pelukmu yang begitu erat mendekapku. Atau mengenai tatapmu yang seringkali sejurus berhenti sesaat pada tatapku. Haruskah kutanyakan pada Tuhan mengenai cinta, agar aku tak menjadi bodoh karena itu.
Pertanyaan ini seperti memburuku, kemanapun aku berlari ia seperti sedang bersembunyi di balik semak-semak dan siap mematikanku setiap saat. Sesekali aku dapat melihatnya, dan seketika aku terdiam; hening.
Semua pertanyaanku berserakan menjadi puing-puing asa yang pecah. Pada tatapan matamu yang   berpaling namun menancap perlahan-lahan. Apa yang bisa diharapkan pada sesuatu yang telah hancur? Menyatukan sisa puing-puing dengan perekat? Tidak. Biarkan ia tetap berserak, terinjak-injak lalu hilang perlahan.
Pada akhirnya semua hanya menjadi tatap yang kosong, diiringi sisa tawamu yang kutahu tidak akan bermuara pada hulu yang sama. Kemudian aku hanya diam, menatap pada suatu pola yang kumengerti betul. Aku telah terdampar pada suatu peluk yang hambar, terpaku pada tubuh yang kaku. Dan kau, saat ini tertawa riang pada bahu seorang kekasih; bukan aku.