Kau yang selama ini
menari-nari dalam darahku menjadi buram dan kabur, tiba-tiba menjadi tak
kumengerti. Apa arti senyummu, apa makna pelukmu yang begitu erat
mendekapku. Atau mengenai tatapmu yang seringkali sejurus berhenti sesaat pada
tatapku. Haruskah kutanyakan pada Tuhan mengenai cinta, agar aku tak menjadi
bodoh karena itu.
Pertanyaan ini seperti
memburuku, kemanapun aku berlari ia seperti sedang bersembunyi di balik
semak-semak dan siap mematikanku setiap saat. Sesekali aku dapat melihatnya,
dan seketika aku terdiam; hening.
Semua pertanyaanku
berserakan menjadi puing-puing asa yang pecah. Pada tatapan matamu yang berpaling namun menancap perlahan-lahan. Apa
yang bisa diharapkan pada sesuatu yang telah hancur? Menyatukan sisa puing-puing
dengan perekat? Tidak. Biarkan ia tetap berserak, terinjak-injak lalu hilang
perlahan.
Pada akhirnya semua
hanya menjadi tatap yang kosong, diiringi sisa tawamu yang kutahu tidak akan
bermuara pada hulu yang sama. Kemudian aku hanya diam, menatap pada suatu pola yang
kumengerti betul. Aku telah terdampar pada suatu peluk yang hambar, terpaku pada
tubuh yang kaku. Dan kau, saat ini tertawa riang pada bahu seorang kekasih;
bukan aku.